Faktor Pembentukan Tanah
Tanah
merupakan hasil evolusi dan mempunyai susunan teratur yang unik yang terdiri
dari lapisan-lapisan atau horizon yang berkembang secara baik. Proses
pembentukan tanah, dapat dilihat sebagai adanya penambahan dan pengurangan,
perubahan atau translokasi.
Tanah
dibentuk dibawah kendali factor-faktor lingkungan. Menurut Jenny (19941) dalam
Tejoyuwono (1994: 15), menyatakan bahwa factor pembentuk tanah bukan sebab atau
kakas (force), melainkan penentu keadaan dari riwayat sekelompok sifat tanah.
Di sebutkan pula ada 5 faktor pembentuk tanah, yaitu:
1. Iklim
2. Organism
3. Bahan
induk tanah
4. Topografi,
dan
5. Waktu
teori
ini dapat disajikan dalam bnetuk rumusan matematika umum berupa persamaan
factorial-fungsional (Tejoyuwono, 1994: 15) yaitu
|
i =
iklim
o =
organisme
bi =bahan induk
t =
topografi
w = waktu
daan masing-masing
factor yang berpengaruh dalam pembentukan tanah, kesemuanya dapat menjadi
factor yang dominan dan keempat lainnya menjadi factor pendamping atau suatu pola agihan tanah ditentukan oleh suatu
factor yang berbeda dan keempat factor lainnya sama yang disebut banjar
(sequence).
Dengan konsep tanah sebagai
system energy dan merupakan system terbuka, maka factor-faktor pembentuk tanah
dapat ditafsirkan bahwa:
Bahan induk tanah => tingkat awal
Iklim =>
masukan energy dan bahan
Organisme =>
membentuk ekosistem dengan tanah; saling tidak baik sebagian atau seluruh
keluaran menjadi masukan kembali dan sisa keluaran menlonggok
Timbulan (topografi) => factor terpentik dalam
membentuk katena tanah
Waktu =>
menentukan laju perubahan total, gejala tanah bersifat stokastik (probabilistic)
Pembentukan Tanah (Pedogenesis)
Pedogenesis
(Pembentukan Tanah) mencakup dua tahapan menyambung, tahapan-tahapan tersebut
adalah:
1. Pembentukan
tanah dalam arti kata pengubahan bahan induk tanah menjadi bahan tanah.
2. Perkembangan
tanah dalam arti kata penyusunan bahan tanah menjadi tubuh tanah dengan
organisasi dan morfologi tertentu. Tahapan kedua inilah yang sering disebut
morfogenesis.
Perbedaan
pokok yang ada pada kedua tahapan tersebut adalah pada tahapan pertama hanya
terjadi pengubahan bahan-bahan serbasama secara ruang (spatially homogeneous alteration), sedang pada tahapan kedua yang
menjadi kajian pokok ialah alih tempat bahan yang membuat tubuh tanah
tersegregasi menjadi berbagai bagian yang beragam. Oleh karena segregasi
tersebut biasanya menghasilkan perlapisan yang berkedudukan kurang lebih
sejajar dengan permukaan tanah, peristiwa itu disebut hoorisonisasi. Bahan
tanah yang bersifat serbasama secara ruang yang dihasilkan tahapan pertama
disebut bentuk isotrop, karena horisonisasi maka tubuh tanah disebut anisotrop.
Dalam
perkembangan tanah, di samping peristiwa horisonisasi ada pula peristiwa
haploidisasi, yaitu merupakan lawan dari horisonisasi yaitu pencegahan atau
penghambbatan horisonisasi, campur atau perusakan terhadap horizon yang ada.
Horisonisasi dan haploidisasi bisa saling tumang tindih, tergantung kepada
factor lingkungan pembentuk tanah. Dilihat dari segi morfogenesa, horisonisasi
merupakan kejadian progresif, penyederhanaan profil tanah. Keduanya dinamakan
proses perkembangan tanah makro, dan digerakkan oleh sejumlah proses
perkembangan tanah mikro.
Ada
beberapa perkembangan proses tanah mikro, yang terpenting (Tejoyuwono, 1994:
6), adalah sebagai berikut:
1. Memasuk
campurkan (incorporate) bahan organic
kedalam tubuh tanah mineral lewat permukaan tanah yang membentuk hrison A.
2. Euviasi
lempung, Fe dan atau A1 membentuk horiso E.
3. Illuviasi
lempung, humus, Fe dan atau A1 yang membentuk horiso B.
4. Pelindian
garam dan silica yang melonggokan secara residual seskuioksida (R2O3)
dan membbentuk horizon oksidi
5. Antieluviasi
yang melonggokkan garam-garam dan membentuk horizon salik (garam netral) atau
natrik ( garam basa)
6. Gleisiasi
yang membentuk horizon G dan menurut kejadiannya terpilahkan menjadi 3 jenis,
yaitu otoglei (perambihan internal drainase buruk), stagnoglei (pengendapan),
dan hidroglei (air tanah dangkal).
7. Pedoturbasi
yang membaurkan horizon dan menurut kejadiannya terpilahkan menjadi 3 jenis,
yaitu secara mekanik ( perilaku fraksi lempung), karena kegiatan flora, fauna,
dan manusia.
8. Penghambat
horisonisasi karena suhu beku, atau karena kelengkapan ketersediaan air
perkolasi atau keterbatasan jangkauannya.
Dari
beberapa proses mikro, maka berikut ini disajikan profil tanah hasil proses
mikro
Ringkasan
dari berbagai proses mikro yang berlangsung dalam morfogenesis
Ringkasan
berbagai proses mikro yang berlangsung dalam morfogenesis Lempung
aluminosillikat dialih tempatkan dengan salah satu cara (tejoyuono, 1994: 8)
yaitu:
1. Unsur-unsur
yang terbentuk dalam bagian atas profil tanah, bergerak ke bawah dengan air
perlokasi dalam bentuk larutan, kemudian membentuk lempung dan mengendap
dibagian bawah profil tanah;
2. Lempung
utuh terbentuk dibagian atas profil
tanah, bergerak kebawah dengan air perkolasi dalam bentuk suspense, kemudian
mengendap dibagian bawah profil tanah karena penjonjotan, terperangkap dalam
pori tanah, atau terhenti pada batas atas jangkauan perkolasi.
Kejadian
epimorfik dikendalikan oleh fktor-faktor lingkungan, khususnya iklim dan vegetasi
yang berasosiasi dengan iklim. Karena berkenaan dengan kegiatan iklim (weathering). Padanan istilah Indonesia yang pernah
dilontarkan ialah hancuran iklim (wirjodihardjo, 1964 dama tejoyuwono, 1994: 8)
yang saat ini disebut pelapukan. Pelapukan dapat dicerapi sebagai suatu
perubahan yang dijalani suatu benda atau bahan untuk mengadaptasikan pada
keadaan lingkungan baru yang dihadapi. Berdasarkan cerapan ini, maka suatu bend
atau bahan yang terbentuk dalam keadaan lingkungan yang berbeda lebih jauh
dengan lingkungan permukaan bumi akan melapuk lebih intensif dan mengalami
perubahan lebih mendalam. Mineral yang paling dulu terbentuk dalam proses
diferensiasi magma, berarti terbentuk dalam lingkungan suhu tinggi dan tekanan
besar, akan melapuk lebih lama dibandingkan dengan mineral atau batuan yang
terbentuk belakangan dalam lingkungan suhu rendah dan tekanan yang kecil yang
tidak terlalu jauh berneda dengan yang ada dalam lingkungan permukaan bumi.
Laju pelapukan batuan dan mineral juga ditentukan oleh keterlarutan
unsure-unsur kimia penyusunnya. Makin mudah unsure-unsur terlarukan, berarti makin
mudah terbebaskan, batuan dan mineral makin mudah lapuk.
Daftar
Pustaka:
- Rafi’i,
Suryatna. 1985. Ilmu Tanah. Bandung:
Penerbit Angkasa Bandung
- Sugiyanta, I
Gede. 2007. Geografi Tanah. Lampung:
Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar